Rabu, 06 November 2013

PERBINCANGAN TENTANG KEHIDUPAN TUKANG BECAK

Perempatan Tugu Cembreng Solo adalah lokasi yang cukup strategis bagi para tukang becak mendapatkan penumpang karena banyak penumpang yang turun dari bus khususnya bus antarkota yang akan memasuki kampung yang cukup jauh merasa becak adalah transportasi yang pas untuk mengantar mereka.  Salah satu tukang becak yang ada di daerah Pedaringan adalah bapak Jiman yang tinggal di Gulon RT 03/XXI. Usianya 57 tahun dan berprofesi sebagai tukang becak selama sekitar 30 tahun namun ia mangkal di perempatan Tugu Cembreng selama sekitar 20 tahun. Selain menjadi tukang becak tidak ada pekerjaan lain yang ia jadikan penopang untuk menafkahi istri dan kelima anaknya dengan alasan hanya pekerjaan inilah yang ia bisa lakukan. Per hari rata-rata ia mendapatkan Rp 10.000,00 untuk makan sehari-hari itu pada 5 tahun terakhir ini sangat sulit mendapatkan uang sepuluh ribu seharian. Namun istrinya pun membantu dengan bekerja di kantin perpustakaan UNS sebagai juru masak yang berpenghasilan Rp 15.000,00 per hari sehingga jika sewaktu-waktu Pak Jiman tidak mendapatkan uang ada uang cadangan yang diandalkan untuk makan sehari-hari. Pak Jiman bekerja mulai pukul 6 sampai pukul 9 malam dimulai dengan mangkal di perempatan Tugu Cembreng kemudian berkeliling sampai Rumah Sakit Dr. Moewardi kemudian kembali mangkal di perempatan Tugu Cembreng dan tidak ada hari libur baginya, jika ia merasa lelah ia akan pulang untuk istirahat kemudian bekerja kembali dan dalam keadaan panas maupun hujan ia tetap harus bekerja namun kebanyakan ia menunggu penumpang daripada mencari penumpang. Selain kebutuhan sehari-hari masih banyak biaya yang perlu dikeluarkan oleh Pak Jiman yaitu sewa becak, karena becak yang ia gunakan untuk bekerja bukan miliknya sendiri namun becak sewaan dari seorang bernama Pak Heri yang bertempat tinggal di Mojosongo. Tarif sewa per hari adalah Rp 2.500,00 yang ditarik tiap lima hari sekali. Kemudian ada pajak untuk becak yang ditanggungnya sendiri sebesar Rp. 6.000,00 per tahun jika belum bayar pajak bisa kena razia meski razia becak sangat jarang sekali dan Pak Jiman sendiri belum pernah terkena razia apapun selama sekitar 30 tahun bekerja. Kemudian biaya perawatan becak atau seandainya ban becaknya bocor harus ia tanggung sendiri. Namun terkandang Pak Jiman mendapat bantuan dari mertuanya dan untuk ketiga anaknya yang masih bersekolah mendapat bantuan dari pemerintah berupa program BOS dan juga dari anak pertamanya yang sudah bekerja sedangkan anak keduanya sudah berkeluarga. Ironisnya Pak Jiman mengaku tidak pernah mendapat program bantuan lain yang sudah dilaksanakan pemerintah berupa raskin maupun BLT. Kendala yang dihadapi dalam profesinya adalah adanya banyak saingan di perempatan Tugu Cembreng namun ia merasakan adanya sikap toleransi antar tukang becak, mereka tidak terlalu berebut penumpang. Kebanyakan penumpangnya adalah anak kos yang baru saja turun dari bus antar kota yang minta diantar ke kos mereka yang cukup jauh dari tempat mereka turun dari bus. Selama 5 tahun terakhir ia merasa pendapatannya semakin berkurang ia beranggapan seiring perkembangan zaman yaitu banyaknya pengguna telepon genggam dimana bisa langsung menghubungi minta dijemput daripada harus naik becak kemudian semakin banyaknya kendaraan pribadi dan angkutan umum yang masuk ke daerah perkampungan. Tanggapan dari keluarga Pak Jiman sendiri terhadap pekerjaan Pak Jiman sebagai tukang becak adalah mereka mendukung profesi Pak Jiman bahkan mereka bangga, anak-anak Pak Jiman sendiri tidak pernah menuntut, mereka mengerti kondisi ekonomi keluarga mereka dan Pak Jiman sendiri merasa tidak ada beban dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan dengan masyarakat pada umumnya ia merasa tidak ada masalah dan tanggapan masyarakat biasa-biasa saja tentang pekerjaannya. Suka duka dalam menjalani pekerjaan sebagai tukang becak bagi Pak Jiman adalah merasa duka ketika tidak dapat uang dan suka ketika dapat uang dan harapannya adalah anak-anaknya harus sekolah sampai selesai semua.

gunadarma.ac.id