Rabu, 06 November 2013

PERBINCANGAN TENTANG KEHIDUPAN TUKANG BECAK

Perempatan Tugu Cembreng Solo adalah lokasi yang cukup strategis bagi para tukang becak mendapatkan penumpang karena banyak penumpang yang turun dari bus khususnya bus antarkota yang akan memasuki kampung yang cukup jauh merasa becak adalah transportasi yang pas untuk mengantar mereka.  Salah satu tukang becak yang ada di daerah Pedaringan adalah bapak Jiman yang tinggal di Gulon RT 03/XXI. Usianya 57 tahun dan berprofesi sebagai tukang becak selama sekitar 30 tahun namun ia mangkal di perempatan Tugu Cembreng selama sekitar 20 tahun. Selain menjadi tukang becak tidak ada pekerjaan lain yang ia jadikan penopang untuk menafkahi istri dan kelima anaknya dengan alasan hanya pekerjaan inilah yang ia bisa lakukan. Per hari rata-rata ia mendapatkan Rp 10.000,00 untuk makan sehari-hari itu pada 5 tahun terakhir ini sangat sulit mendapatkan uang sepuluh ribu seharian. Namun istrinya pun membantu dengan bekerja di kantin perpustakaan UNS sebagai juru masak yang berpenghasilan Rp 15.000,00 per hari sehingga jika sewaktu-waktu Pak Jiman tidak mendapatkan uang ada uang cadangan yang diandalkan untuk makan sehari-hari. Pak Jiman bekerja mulai pukul 6 sampai pukul 9 malam dimulai dengan mangkal di perempatan Tugu Cembreng kemudian berkeliling sampai Rumah Sakit Dr. Moewardi kemudian kembali mangkal di perempatan Tugu Cembreng dan tidak ada hari libur baginya, jika ia merasa lelah ia akan pulang untuk istirahat kemudian bekerja kembali dan dalam keadaan panas maupun hujan ia tetap harus bekerja namun kebanyakan ia menunggu penumpang daripada mencari penumpang. Selain kebutuhan sehari-hari masih banyak biaya yang perlu dikeluarkan oleh Pak Jiman yaitu sewa becak, karena becak yang ia gunakan untuk bekerja bukan miliknya sendiri namun becak sewaan dari seorang bernama Pak Heri yang bertempat tinggal di Mojosongo. Tarif sewa per hari adalah Rp 2.500,00 yang ditarik tiap lima hari sekali. Kemudian ada pajak untuk becak yang ditanggungnya sendiri sebesar Rp. 6.000,00 per tahun jika belum bayar pajak bisa kena razia meski razia becak sangat jarang sekali dan Pak Jiman sendiri belum pernah terkena razia apapun selama sekitar 30 tahun bekerja. Kemudian biaya perawatan becak atau seandainya ban becaknya bocor harus ia tanggung sendiri. Namun terkandang Pak Jiman mendapat bantuan dari mertuanya dan untuk ketiga anaknya yang masih bersekolah mendapat bantuan dari pemerintah berupa program BOS dan juga dari anak pertamanya yang sudah bekerja sedangkan anak keduanya sudah berkeluarga. Ironisnya Pak Jiman mengaku tidak pernah mendapat program bantuan lain yang sudah dilaksanakan pemerintah berupa raskin maupun BLT. Kendala yang dihadapi dalam profesinya adalah adanya banyak saingan di perempatan Tugu Cembreng namun ia merasakan adanya sikap toleransi antar tukang becak, mereka tidak terlalu berebut penumpang. Kebanyakan penumpangnya adalah anak kos yang baru saja turun dari bus antar kota yang minta diantar ke kos mereka yang cukup jauh dari tempat mereka turun dari bus. Selama 5 tahun terakhir ia merasa pendapatannya semakin berkurang ia beranggapan seiring perkembangan zaman yaitu banyaknya pengguna telepon genggam dimana bisa langsung menghubungi minta dijemput daripada harus naik becak kemudian semakin banyaknya kendaraan pribadi dan angkutan umum yang masuk ke daerah perkampungan. Tanggapan dari keluarga Pak Jiman sendiri terhadap pekerjaan Pak Jiman sebagai tukang becak adalah mereka mendukung profesi Pak Jiman bahkan mereka bangga, anak-anak Pak Jiman sendiri tidak pernah menuntut, mereka mengerti kondisi ekonomi keluarga mereka dan Pak Jiman sendiri merasa tidak ada beban dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan dengan masyarakat pada umumnya ia merasa tidak ada masalah dan tanggapan masyarakat biasa-biasa saja tentang pekerjaannya. Suka duka dalam menjalani pekerjaan sebagai tukang becak bagi Pak Jiman adalah merasa duka ketika tidak dapat uang dan suka ketika dapat uang dan harapannya adalah anak-anaknya harus sekolah sampai selesai semua.

gunadarma.ac.id

Senin, 28 Oktober 2013

TEORI KEWIRAUSAHAAN

Kata wirausaha dalam bahasa Indonesia merupakan gabungan dari kata “wira” yang artinya gagah berani, perkasa dan kata “usaha”, sehingga secara harfiah wirausahawan diartikan sebagai orang yang gagah berani atau perkasa dalam berusaha  (Riyanti,  2003).  Wirausaha  atau  wiraswasta  menurut  Priyono  dan Soerata (2005) berasal dari kata “wira” yang berarti utama, gagah, luhur berani atau  pejuang;  “swa”  berarti  sendiri;  dan  kata  ”sta”  berarti  berdiri.  Dari  asal katanya  “swasta”  berarti  berdiri  di  atas  kaki  sendiri  atau  berdiri  di  atas kemampuan sendiri. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa wirausahawan atau wiraswastawan berarti orang yang berjuang dengan gagah, berani, juga luhur dan pantas diteladani dalam bidang usaha, atau dengan kata lain wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai sifat-sifat kewirausahaan atau kewiraswastaan seperti: keberanian mengambil resiko, keutamaan dan keteladanan dalam menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri.
Drucker (1985) mengartikan kewirausahaan sebagai semangat, kemampuan, sikap dan perilaku individu dalam menangani usaha (kegiatan) yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.



Hisrich dan Brush (dalam Winardi, 2003) menyatakan bahwa kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan jalan mengorbankan waktu dan upaya yang diperlukan untuk menanggung resiko finansial, psikologikal serta sosial dan menerima hasil-hasil berupa imbalan moneter dan kepuasan pribadi sebagai dampak dari kegiatan tersebut.
Kao (1997) mendefinisikan kewirausahaan sebagai suatu proses penciptaan sesuatu yang baru (kreasi) dan/atau membuat sesuatu yang berbeda (inovasi), yang tujuannya adalah tercapainya kesejahteraan individu dan nilai tambah bagi masyarakat. Hal senada disampaikan oleh Schumpeter (dalam Winardi, 2003) dengan menyatakan bahwa kewirausahaan merupakan sebuah proses dan para wirausahawan adalah seorang inovator yang memanfaatkan proses tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah semangat, kemampuan dan perilaku individu yang berani menanggung resiko, baik itu resiko finansial, psikologikal, maupun sosial dalam melakukan suatu proses penciptaan sesuatu yang baru (kreasi baru) dan membuat sesuatu  yang  berbeda  dari  yang  sudah  ada  (inovasi)  dengan  menerima  hasil berupa imbalan moneter dan kepuasan pribadi.



2. Ciri-Ciri Wirausahawan

Bygrave (dalam Ifham, 2002) mengemukakan beberapa ciri-ciri seorang wirausahawan, yaitu:
a.   Mimpi  (dreams),  yakni  memiliki  visi  masa  depan  dan  kemampuan mencapai visi tersebut.



b.   Ketegasan (decisiveness), yakni tidak menangguhkan waktu dan membuat keputusan dengan cepat.
c.   Pelaku (doers), yakni melaksanakan secepat mungkin.

d.   Ketetapan hati (determination), yakni komitmen total, pantang menyerah. e.   Dedikasi (dedication), yakni berdedikasi total, tidak kenal lelah.
f Kesetiaan (devotion), yakni mencintai apa yang dikerjakan.

g.   Terperinci (details), yakni menguasai rincian yang bersifat kritis.

h.   Nasib (destiny), yakni bertanggungjawab atas nasib sendiri yang hendak dicapainya.
i.    Uang (dollars), yakni kaya bukan motivator utama, uang lebih berarti sebagai ukuran sukses.
j.    Distribusi  (distributif),  yakni  mendistribusikan  kepemilikan  usahanya kepada karyawan kunci yang merupakan faktor penting bagi kesuksesan usahanya.



3. Aspek-Aspek Kewirausahaan

Drucker (1985) menguraikan aspek-aspek kewirausahaan, yaitu:

a.   Kemampuan mengindera peluang usaha, yakni kemampuan melihat dan memanfaatkan peluang untuk mengadakan langkah-langkah perubahan menuju masa depan yang lebih baik.
b.   Percaya diri dan mampu bersikap positif terhadap diri dan lingkungannya, yakni berkeyakinan bahwa usaha yang dikelolanya akan berhasil.
c.   Berperilaku memimpin, yaitu mampu mengarahkan, menggerakkan orang lain, dan bertanggungjawab untuk meningkatkan usaha.



d.   Memiliki inisiatif untuk menjadi kreatif dan inovatif, yaitu mempunyai prakarsa untuk menciptakan produk/metode baru yang lebih baik mutu atau jumlahnya agar mampu bersaing.
e.   Mampu bekerja keras, yaitu memiliki daya juang yang tinggi, bekerja penuh energi, tekun, tabah, melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tanpa mengenal putus asa.
f.    Berpandangan luas dengan visi ke depan yang baik, yaitu berorientasi pada masa yang akan datang dan dapat memperkirakan hal-hal yang dapat terjadi sehingga langkah yang diambil sudah dapat diperhitungkan.
g.   Berani   mengambil   resiko,   yaitu   suka   pada   tantangan   dan   berani mengambil resiko walau dalam situasi dan kondisi yang tidak menentu. Resiko yang dipilih tentunya dengan perhitungan yang matang.



4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kewirausahaan

Menurut  Hidayat  (2000)  faktor-faktor  yang  mempengaruhi  kewirausahaan, yaitu:
a.   Variabel situasional

1).  Lama studi.

Lama studi didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan studi S1.
2).  Status kerja

Status kerja adalah tingkat keterlibatan responden pada kegiatan- kegiatan yang memberikan pendapatan bagi dirinya, baik dalam status sebagai karyawan maupun pemilik modal.



3).  Status pernikahan

Status pernikahan adalah tingkat konsekuensi ekonomis status pernikahan yang sedang dialami oleh responden.
b.   Variabel latar belakang

1)   Latar belakang orang tua

Latar belakang orang tua adalah tingkat keterlibatan lingkungan keluarga dalam aktivitas kewirausahaan. Pengalaman berusaha dapat diperoleh dari bimbingan sejak kecil yang diberikan oleh orang tua yang berprofesi sebagai wirausahawan (Staw dalam Riyanti, 2003).
2)  Usia

Pengertian usia adalah usia kronologis dari subjek penelitian. c.   Variabel karakteristik kepribadian
1)   Dorongan berprestasi

Dorongan berprestasi mengacu pada preferensi terhadap tingkat kesulitan, standar pencapaian, dan persistensi dalam proses pencapaian tujuan.
2)   Kemandirian

Kemandirian mengacu pada dua faktor, yaitu kemandirian emosional dan kemandirian ekonomis. Kemandirian emosional adalah tingkat kecenderungan individu untuk memutuskan sendiri hal-hal yang bersifat penting bagi dirinya. Kemandirian ekonomis adalah kemampuan individu untuk mencukupi kebutuhan- kebutuhan ekonomis dirinya sendiri.



3)   Toleransi pada perubahan

Toleransi pada perubahan mengacu kepada tingkat kemampuan untuk menghadapi perubahan-perubahan pada situasi kerja dan situasi hubungan sosial. Individu cenderung untuk mencari atau membutuhkan situasi-situasi baru untuk menjaga vitalitas dirinya. Menganggap perubahan bukan sesuatu yang menakutkan atau mengancam, tetapi sesuatu yang menantang atau sebuah peluang.
4)  Sikap terhadap uang

Uang adalah medium pertukaran (medium of exchange). Sikap terhadap uang merupakan penerimaan individu terhadap uang sebagai medium dalam aktivitas-aktivitas pertukaran, seperti transaksi ekonomi, dan transaksi sosial.
d.   Citra kewirausahaan

Citra kewirausahaan merupakan konstruksi kognitif tentang kewirausahaan. Konstruksi ini meliputi faktor-faktor: persepsi tentang sikap masyarakat terhadap wirausaha, persepsi tentang potensial payoff dari dunia usaha dan konstruksi realitas kewirausahaan.
e.   Conviction and career preference

Conviction dan career preference didefinisikan sebagai persepsi individu tentang kemampuan dirinya untuk berhasil dalam bidang kewirausahaan.   Konstruk   ini   meliputi   persepsi   tentang   tingkat kesulitan  dalam  memulai  sebuah  usaha  dan  sumber  yang  potensial yang dimiliki.
f Lingkungan universitas



Konstruk lingkungan universitas maksudnya manifestasi dari konstruk dukungan sosial terhadap kewirausahaan. Komponen dari dukungan universitas terhadap kewirausahaan meliputi: dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan instrumental, dan dukungan evaluatif.
g.   Niat menjadi wirausaha


Niat menjadi wirausaha merujuk pada rencana untuk membuka sebuah usaha dalam jangka pendek (1 tahun) dan jangka panjang (5 tahun).


sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23570/3/Chapter%20II.pdf

Rabu, 26 Juni 2013

MAKALAH ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN

TUGAS
LINGKUNGAN KERJA
(PT. TIFICO TBK TANGERANG)

 
Disusun Oleh:

Nama / NPM                  : 1. Hayyu Saputri                / 33410188
                                           2. Y B Bigar Puguh S        / 38410584









JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
            2013




BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang Masalah
Lingkungan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupuan manusia. Hal ini dikarenakan dimana seseorang hidup maka akan tercipta suatu lingkungan yang berbeda dan sebaliknya. Akhir-akhir ini sering kali ditemukannya suatu pengrusakan lingkungan oleh manusia dengan alasan pemanfaatan untuk menghasilkan materi yang lebih, secara tidak langsung tindakan ini akan mengakibatkan terkikisnya lingkungan dan mengancam pada kelangsungan hidup manusia.
Disamping itu keteloderan manusia dalam pendirian bangunan dengan tanpa memperhatikan dampak dari usaha atau industri yang akan berlangsung dibangunan tersebut juga akan merusak lingkungan fisik dan biologis secara perlahan dan tidak langsung.Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu usaha untuk melestarikan kualitas lingkungan yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, sejak mulai penyusunan rencana pembangunan daerah sampai setelah proyek-proyek pembangunan dijalankan, misalnya penyusunan rencana penggunaan tata ruang, rencana pembangunan ekonomi suatu daerah, penetapan proyek-proyek yang akan dibangun, sampai pada waktu proyek-proyek telah berjalan.         Dengan adanya perencanaan hal-hal yang mungkin bias mengantisipasi timbulnya dampak buruk pada lingkungan sekitar maka kerusakan lingkungan akan dapat dikurangi atau bahkan dicegah sama sekali. Dari alasan inilah maka perlu dibuat sebuah rencana pengelolaan lingkungan demi terciptanya keseimbangan antara kepentingan manusia dan kelestarian lingkuangan disekitarnya.


1.2       Tujuan
1.   Mengetahui kedudukan RKL dalam Andal
2.  Mengetahui Sistem pengelolaan lingkungan
3.  Mengetahui rencana dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan
1.3       Rumusan Masalah
1.   Bagaimanakah kedudukan RKL dalam Andal ?
2.  Bagaimanakah system pengelolaan lingkungan berdasarkan faktor-faktor yang saling berkaitan dalam proses pengelolaan lingkungan?
3.  Bagaimanakah rencana dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan yang berpedoman pada PP 29 tentang Amdal ?

BAB II
PEMBAHASAN


2.1         Permasalahan Lingkungan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang sering disingkat AMDAL, merupakan reaksi terhadap kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia yang semakin meningkat. Reaksi ini mencapai keadaan ekstrem sampai menimbulkan sikap yang menentang pembangunan dan penggunaan teknologi tinggi. Dengan ini timbullah citra bahwa gerakan lingkungan adalah anti pembangunan dan anti teknologi tinggi serta menempatkan aktivis lingkungan sebagai lawan pelaksana dan perencana pembangunan. Karena itu banyak pula yang mencurigai AMDAL sebagai suatu alat untuk menentang dan menghambat pembangunan.
Dengan diundangkannya undang-undang tentang lingkungan hidup di Amerika Serikat, yaitu National Environmental Policy Act (NEPA) pada tahun 1969. NEPA mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1970. Dalam NEPA pasal 102 (2) (C) menyatakan,
“Semua usulan legilasi dan aktivitas pemerintah federal yang besar yang akan diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan diharuskan disertai laporan Environmental Impact Assessment (Analsis Dampak Lingkungan) tentang usulan tersebut”.
AMDAL mulai berlaku di Indonesia tahun 1986 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1086. Karena pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 mengalami beberapa hambatan yang bersifat birokratis maupun metodologis, maka sejak tanggal 23 Oktober 1993 pemerintah mencabut PP No. 29 Tahun 1986 dan menggantikannya dengan PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL dalam rangka efektivitas dan efisiensi pelaksanaan AMDAL. Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 23 Tahun 1997, maka PP No. 51 Tahun 1993 perlu disesuaikan. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Melalui PP No. 27 Tahun 1999 ini diharapkan pengelolaan lingkungan hidup dapat lebih optimal.
Pembangunan yang tidak mengorbankan lingkungan dan/atau merusak lingkungan hidup adalah pembangunan yang memperhatikan dampak yang dapat diakibatkan oleh beroperasinya pembangunan tersebut. Untuk menjamin bahwa suatu pembangunan dapat beroperasi atau layak dari segi lingkungan, perlu dilakukan analisis atau studi kelayakan pembangunan tentang dampak dan akibat yang akan muncul bila suatu rencana kegiatan/usaha akan dilakukan.
AMDAL adalah singkatan dari analisis mengenai dampak lingkungan. Dalam peraturan pemerintah no. 27 tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan disebutkan bahwa AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup antara lain:
1 jumlah manusia yang terkena dampak
2 luas wilayah persebaran dampak
3 intensitas dan lamanya dampak berlangsung
4 banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak
5 sifat kumulatif dampak
6 berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999, pasal 1 ayat 1, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.
Sebagai dasar pelaksanaan Audit Lingkungan di Indonesia, telah dikeluarkan Kepmen LH No. 42/MENLH/11/1994 tentang Prinsip-Prinsip dan Pedoman Umum Audit Lingkungan. Dalam Lampiran Kepmen LH No. 41/94 tersebut didefinisikan bahwa:
Audit lingkungan adalah suatu alat pengelolaan yang meliputi evaluasi secara sistematik terdokumentasi, periodik dan obyektif tentang bagaimana suatu kinerja organisasi, sistem pengelolaan dan pemantauan dengan tujuan memfasilitasi kontrol pengelolaan terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan pengkajian kelayakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan.
Audit Lingkungan suatu usaha atau kegiatan merupakan perangkat pengelolaan yang dilakukan secara internal oleh suatu usaha atau kegiatan sebagai tanggungjawab pengelolaan dan pemantauan lingkungannya. Audit lingkungan bukan merupakan pemeriksaan resmi yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan, melainkan suatu usaha proaktif yang diIaksanakan secara sadar untuk mengidentifikasi permasalahan lingkungan yang akan timbul sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya. Berikut pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada masyarakat sekitar yang berada pada pembangunan apartemen tersebut:
Berdasarkan gambaran diatas, mengidentifikasi permasalahan yang ada di Kabupaten Tangerang berupa pertanyaan penelitian,
yaitu :
1.    Apakah   rencana   pengelolaan   dan   pemantauan   lingkungantelah diimplementasikan oleh Industri?
2.    Bagaimana  keterlibatan  masyarakat  sekitar  industri  dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan?
3.    Bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang telah dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan instansi terkait lainnya

2.2         Pembahasan dan Analisis
Penyusunan AMDAL/UKL&UPL melalui prosedur dan proses yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintan Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL dan keputusan  Menteri  Negara Lingkungan Hidup serta peraturan lainnya.
Heer&Hagerty (1977)  mendefinisikan  AMDALsebagai  penaksiran dengan mengemukakan nilai-nilai kuantitaif pada beberapa parameter tertentu yang penting dimana hal tersebut menunjukkan kualitas lingkungan sebelum, selama dan setelah adanya aktivitas.
Battele  Institute         (1978)  mengemukakan  pengertian  AMDAL  sebagai penaksiran atas semua faktor lingkungan yang relevan dan pengaruh sosial yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas suatu proyek.
Dalam Undang-Undang Nomor  23 Tahun  1997 tentang  Pengelolaan Lingkungan Pasal 1 menyatakan bahwa AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang diakibatkan oleh suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka sejak awal perencanaan sudah harus memperkirakan perubahan kondisi lingkungan, baik yang positif maupun negatif,  dengan demikian dapat dipersiapkan langkah-langkah pengelolaannya. Cara untuk mengkaji perubahan kondisi tersebut melalui studi AMDAL.
            
AMDAL  bertujuan   untuk   mengkaji   kemungkinan-kemungkinan
perubahan  kondisi  lingkungan  baik  biogeofisik  maupun  sosial  ekonomi  dan budaya akibat adanya suatu kegiatan pembangunan.




Gambar 2.1 Proses Produksi PT TIFICO

2.3       Prosedur Penyusunan AMDAL/UKL & UPL
Kajian kelayakan lingkungan diperlukan bagi kegiatan/usaha yang akan mulai melaksanakan proyeknya, sehingga dapat diketahui dampak yangtimbul  dan  bagaimana  cara  pengelolaannya.  Proyek  di  sini  bukan hanya pembangunan fisik saja tetapi mulai dari perencanaan, pembangunan fisik sampai proyek tersebut berjalan bahkan sampai proyek tersebut berhenti masa operasinya. Jadi lebih ditekankan pada aktivitas manusia di dalamnya.
Kajian kelayakan lingkungan adalah salah satu syarat untuk mendapatkan perijinan  yang diperlukan bagi suatu kegiatan/usaha, seharusnya dilaksanakan bersama-sama dengan kajian kelayakan teknis dan ekonomi. Dengan demikian ketiga kajian kelayakan tersebut dapat sama-sama memberikan masukan untuk dapat menghasilkan keputusan yang optimal bagi kelangsungan proyek, terutama dalam menekan dampak negatif yang biasanya dilakukan dengan pendekatan teknis sehingga didapat biaya yang lebih murah.
Secara umum proses penyusunan kelayakan lingkungan dimulai dengan proses penapisan untuk menentukan studi yang akan dilakukan menurut jenis proyeknya, wajib menyusun AMDAL atau UKL & UPL. Proses penapisan inimengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Nomor 17 tahun 2001 tentang Jenis Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jika usaha atau kegiatan tersebut tidak termasuk dalam daftar maka wajib menyusun Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (UKL & UPL).

3.1       Kesimpulan
Hasil  pengkajian  terhadap  pelaksanaan  pengelolaan  dan  pemantauan lingkungan pada sektor industri dapat disimpulkan bahwa :
1.    Pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan oleh industri masih pada tahap pengelolaan limbah yang dihasilkan oleh industri belum mengarah pada kesadaran untuk kelestarian lingkungan.
2.    Pelaku  usaha  industri   masih   menganggap  bahwa  kewajiban  untuk mengimplementasikan  pengelolaan  dan pemantauan lingkungan  masih merupakan beban yang memberatkan dari segi biaya, danindustribelum merasakan  keuntungan  secara  langsung  dari kegiatnpengelolaan  dan pemantauan yang telah dilakukan.
3.    Pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh industri masih sebatas meredam protes atau mencegah terjadinya gejolak oleh masyarakat di sekitar lokasi industri, belum mencakup pengelolaan lingkungan secara utuh.
4.            Keterlibatan  dan  kepedulian  masyarakat  di  sekitar  industri  terhadap pelaksanaan pemantauan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan industri relatif  masih  rendah,  masyarakat masih beranggapan bahwaindustryyang memberikan  banyak  bantuan  dan  menyerap  banyak  tenaga  kerja  lokal merupakan industri yang telah peduli terhadap lingkungan.
5.    Apakah industri  tersebut  mencemari lingkungan  atau tidak. Sebagian masyarakat yang berkeinginan terlibat dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan tidak mempunyai akses untuk dapat terlibat dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.Pengawasan yang dilakukan olehinstansi  terkait  dibidang  lingkungan  di kabupaten Pelalawan masih bersifat pasif dan reaktif, yaitu hanya menunggu pelaporan dari pihak industri dan akan terjun ke lapangan apabila terjadikasus.
5.    Mekanisme koordinasi antar instansi masih belum jelas sehingga masing-masing instansi belum dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
6.    Belum adanya peraturan daerah mengenai pengelolaan lingkungan hidup yang spesifik sesuai dengan karakteristik wilayah kabupaten Tangerang.
7.    Pemberian penghargaan dan sanksi baik bagi industri yang telah melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan maupun yang tidak melaksanakan belum dilaksanakan, sehingga menimbulkan kecemburuan bagi industri yang telah melaksanakan.

3.2 Saran
1.    Koordinasi dan keterpaduan dalam menetapkan kebijakan antar instansi yang membidangi masalah industri dan lingkungan perlu ditingkatkan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman oleh pelaku industri untuk mewujudkanindustri yang berwawasan lingkungan.
2.    Mengikutsertakan aparat pada dinas/instansi dalam pendidikan dan pelatihan mengenai pengelolaan lingkungan hidup sehingga semua aparat yang bertugas mempunyai persepsi yang sama mengenai pengelolaan lingkungan.
3.    Perlu adanya kajian mengenai daya tampung lingkungan yang dapat menjadi dasar kebijakan dalam penyusunan peraturan daerah.
4.    Untuk meningkatkan kesadaran pelaku industri di bidang lingkungan maka pemberian penghargaan bagi industri yang telah melaksanakan dan mematuhi aturan dan pemberian sanksi bagi industri yang melanggar aturan di bidang lingkungan perlu diintensifkan.
5.    Sosialisasi oleh Dinas Lingkungan Hidup tentang kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang dilakukan industri dan keterbukaan informasi oleh  industri  bersangkutan  dengan  memberikan  dokumen pengelolaan lingkungan  kepada  kelurahan  setempat  sehingga  dapat  meningkatkan kepedulian  dan partisipasi  masyarakat  di  sekitar  lokasi  industri  untuk mewujudkan industri yang berwawasan lingkungan.



Foto lingkungan pabrik